Photo: metrotvnews |
"Kajian JPPR menunjukkan, pemenuhan syarat 30% perempuan belum mencerminkan semangat partai politik dalam mengupayakan keterwakilan wilayah dan representasi politik dari setiap daerah pemilihan," ujar Deputi Koordinator JPPR, Masykurudin Hafidz di Jakarta, Minggu (30/6).
Pihaknya memaparkan dari 2.453 calon perempuan dalam DCS, sebanyak 1.231 (50%) beralamat atau tinggal di luar provinsi dari daerah pemilihannya berada. Mayoritas caleg berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Ia berujar, berdasarkan pengalaman Pemilu 2009, proses pencalonan dengan sistem proporsional terbuka bagi calon perempuan relatif lebih sulit terutama saat kampanye dan mengawal suara perolehannya.
"Dengan melihat banyaknya calon perempuan yang berasal dari provinsi lain potensi kecurangan Pemilu 2009 kembali bisa terulang di Pemilu 2014," tandasnya.
Oleh karena itu, sambungnya, partai politik sebagai penanggungjawab penuh dalam kepesertaan Pemilu tidak boleh membiarkan caleg perempuan berkompetisi secara bebas. Menurutnya, tingginya potensi elektabilitas calon perempuan membuat partai politik harus mengatur strategi untuk mengawalnya.
"Partai politik harus memberikan perlindungan dan pengawalan yang lebih kepada calon perempuan terutama pada saat kampanye dan pengawalan hasil suara yang diperoleh dari TPS hingga penghitungan suara nasional," lanjutnya.
Dari jumlah temuan tersebut, Partai Hanura mempunyai paling banyak caleg perempuan sentralistik yaitu 139 dari 200 caleg perempuannya (70%), diikuti oleh PKPI sebanyak 117 dari 196 (60%), Golkar sebanyak 120 dari 202 (59%), Demokrat sebanyak 120 dari 209 (57%), PAN sebanyak 117 dari 206 (57%), GERINDRA sebanyak 114 dari 199 (57%), PDIP sebanyak 108 dari 200 (54%), PKB sebanyak 110 dari 210 (52%), PBB sebanyak 95 dari 205 (46%), NASDEM sebanyak 86 dari 227 (38%) PPP sebanyak 85 dari 206 (41%) dan PKS sebanyak 20 dari 193 (10%).
Pihaknya berharap caleg yang nantinya mengisi Parlemen bisa menjadi perwakilan rakyat daerah setempat yang sesungguhnya tanpa (bukan sentralistik) meskipun hal ini tidak diatur dalam UU Pemilu.
"Kalau calegnya dari Jakarta (sentralistik) artinya aspek keterwakilan tidak ditangkap secara cepat. Ini berkaitan dengan kesatuan negara kita NKRI. Representasinya di DPR tidak terjadi karena nilai kesatuan itu tidak ada. Kalau perlu diperbaikilah representasi diliat dari sosial, budaya, psikologi dan ekonomi dari sisem keterwakilan kita. Sehingga dalam poses pencalonan memperhatikan aspek itu. Aspirasi dibawah, kemudian mereka mewakilinya," terangnya.
Ditambah Hafidz, dengan kebijakan sentralistik membuat anggota legislatif nantinya harus mengeluarkan biaya yang besar karena harus bolak-balik ke Dapilnya. (Astrie Novaria) Sumber: metrotvnews
Editor: Afwan Albasit
0 komentar:
Posting Komentar