ERA reformasi seharusnya menjadi masa keemasan
Partai Persatuan Pembangunan. Namun, kenyataan
berbicara lain. Meskipun lama dikerdilkan Orde Baru,
partai Islam tertua ini justru semakin terpuruk di era
reformasi. Dalam soal yang satu ini, PPP berbeda nasib
dengan PDI Perjuangan yang juga kerap diidentikan
sebagai ‘korban’ Orde Baru. PDI Perjuangan kini malah
kian melambung.
PPP lahir dari hasil fusi empat
partai Islam peserta Pemilu
1971: Partai Nadhlatul
Ulama, Partai Muslimin Indonesia,
Partai Syarikat Islam
Indonesia, dan Partai Islam Persatuan
Tarbiyah Islamiyah. Deklarasi PPP
pada 5 Januari 1973 ditandatangani keempat
pemimpin partai tersebut: Idham
Chalid (Partai NU), Mohammad Syafaat
Mintaredja (Parmusi), Anwar Tjokroaminoto
(PSII), dan Rusli Halil (Perti), plus
Haji Masykur sebagai Ketua Fraksi Persatuan
Pembangunan di DPR.
Sejak 1984 seiring politik “asas tunggal”
Orde Baru, PPP menanggalkan asas
Islam dan lambang Kabah. Pada Muktamar
I 1984, PPP secara resmi menggunakan
asas Pancasila dan lambang bintang
segi lima. Selepas Orde Baru, pada
Muktamar IV 1998, PPP kembali menggunakan
asas Islam dan lambah Kabah.
Kembalinya “Islam” dan “Kabah”
melahirkan rasa percaya diri kader
PPP menjelang Pemilu 1999. Pasalnya,
pada Pemilu 1977 dan 1982, PPP berhasil
mendulang dukungan suara signifikan
di era Orde Baru – suatu prestasi
tersendiri mengingat di era tersebut
kebijakan negara kurang kondusif bagi
tumbuhnya partai politik. Namun, rasa
percaya diri itu ternyata bertepuk sebelah
tangan. Pada Pemilu 1999, PPP
hanya mampu meraih 10,71 persen suara
– atau defisit hingga 20 persen suara
dibandingkan hasil 1977 dan 1982.
Hasil yang sebenarnya layak dimaklumi.
Maklum di awal reformasi, partai
Islam tumbuh bak jamur di musim
hujan. Selain itu, lahirnya PKB yang dibidani
NU – organisasi massa Islam terbesar
yang selama ini menjadi lumbung
suara PPP – juga dianggap faktor utama
bobolnya tabungan suara PPP. Toh paling
tidak, PPP masih bertengger di empat
besar, bahkan mengungguli Partai
Amanat Nasional yang dibesut tokoh reformasi
Amien Rais. Tapi persoalannya,
dukungan bagi PPP pada dua pemilu
berikutnya terus melorot. PPP meraih
8,15 persen suara pada Pemilu 2004
dan 5,32 persen pada Pemilu 2009.
Terus ikut penguasa
LAMA terpinggirkan dari episentrum
kekuasaan mungkin membuat kader
PPP tak tahan lagi membendung ‘syahwat’
berkuasa. Sejak reformasi, PPP selalu
ikut dalam koalisi partai pendukung
pemerintahan. Bahkan setelah sukses
memakzulkan Presiden Abdurrahman
Wahid bersama “Poros Tengah” pada
2001, PPP berhasil menempatkan Ketua
Umum Hamzah Haz sebagai Wakil
Presiden mendampingi Presiden Megawati
Sukarnoputri.
Terpilihnya Suryadharma Ali, ketika
itu Menteri Negara Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah di Kabinet Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, dalam
Kongres 2007, semakin melekatkan PPP
dengan kekuasaan. Suryadharma sebenarnya
terbilang politisi baru. Sejak
1985 hingga 1999, politisi kelahiran
Jakarta, 19 September 1956, itu lama
berkarir sebagai eksekutif puncak perusahaan
ritel ternama, PT Hero Supermarket.
Kemunculannya sebagai ketua
umum partai juga terbilang mengejutkan.
Pada Kongres 2007, dia berhasil
mengalahkan para politisi lawas loyalis
Hamzah Haz, seperti Arief Mudatsir
Mandan, Endin AJ Soefihara, dan Alimarwan
Hanan. Tak pelak, banyak pihak
menilai kemenangan Suryadharma
tak lepas dari peran Presiden Yudhoyono.
Suryadharma Ali memang membawa
penyegararan. Wajah-wajah muda
pun bermunculan dalam kepengurusannya.
Sebut saja nama Irgan Chairul
Mahfiz dan Muhammad Romahurmuziy.
Namun di sisi lain, rezim Suryadharma
membuat PPP yang dulu terkenal
‘galak’ kini seakan menjadi anak manis
kekuasaan.
Pada 2009, PPP sebenarnya nyaris
berpisah ranjang dengan Presiden Yudhoyono.
Suryadharma dikabarkan sudah
merapat ke calon presiden Prabowo
Subianto. Bersama Partai Amanat Nasional
dan 13 partai gurem, PPP ‘sepakat’
mengusung Prabowo dengan Soetrisno
Bachir, Ketua Umum PAN. Tapi kesepakatan
itu kandas.
Dikabarkan, dalam sebuah pertemuan
di Kemang, Jakarta Selatan, Suryadharma
mengatakan PPP pamit mundur
dari koalisi mendukung Prabowo.
Kisah yang beredar mengatakan pertemuan
pun berlangsung panas. Prabowo
marah dan menuding Suryadharma
berkhianat. Konon fulus puluhan
miliar juga terlibat di dalamnya. Pengurus
PPP, seperti Chozin Chumaidy, mengakui
pertemuan tersebut tapi membantah
isu lainnya.
Bagaimanapun, kini PPP satu perahu
dengan Yudhoyono, bahkan kian mesra.
Namun persoalannya, seiring merosotnya
dukungan publik pada Yudhoyono
dan Partai Demokrat, suara PPP pun
diramal bakal ikut terjun bebas. Survei
Centre for Strategic and International
Studies (CSIS) yang dirilis pada akhir
Mei 2013, misalnya, menunjukkan tren
dukungan bagi PPP hanya 2,2 persen,
atau di bawah ambang batas parlemen
3,5 persen. Jelas ini lampu kuning bagi
PPP. [man]
- See more at: http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/07/07/lampu-kuning-bagi-partai-kabah#.UdpSm6wQlak
0 komentar:
Posting Komentar