JAKARTA - DPR RI dan pemerintah tampaknya tidak menggubris maraknya
penolakan terhadap pengesahan RUU Ormas. Mayoritas politisi di Senayan
hampir dipastikan mengesahkan RUU yang oleh sebagian ormas dianggap bisa
mengekang kebebasan berekspresi ini.
Demikian diungkapkan sejumlah anggota fraksi partai politik yang ada di parlemen ketika dihubungi terpisah, Senin (1/7).
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR asal PDIP Arief Wibowo, partainya menyetujui RUU tersebut diberlakukan karena sangat demokratis, bahkan cenderung liberal. "Yang diminta dari RUU ini hanya masalah transparansi dari ormas. Wong parpol saja diminta transparan," katanya.
Arief menjelaskan, pihaknya menjamin RUU ini tidak akan mengekang kebebasan berserikat. Kalaupun ada larangan, ungkapnya, sifatnya hanya normatif dan berlaku kepada organisasi politik seperti parpol. "Begitu pun dengan sanksinya yang bersifat administratif ketimbang larangan terhadap pergerakan ormas," ujarnya.
Mengenai penolakan yang dilakukan ormas seperti Muhammadiyah dan ormas lainnya, Sekjen PPP M Romahurmuziy justru mengatakan, ada lebih banyak lagi ormas Islam ex statblaad yang mendorong RUU ini segera disahkan. "Lagipula, usulan PP Muhammadiyah yg sebanyak 5 pasal smua sdh diakomodir kok. Tapi lihat, yang selain Muhammadiyah kan berbau asing semua, berbau sokongan donor asing," ujarnya.
Ia menantang ormas yang tidak setuju pengesahan RUU Ormas untuk menyebut pasal mana yang hendak diubah dan apa usulannya. "RUU ini kan tidak membatasi, tapi mengakuntabilitaskan, jadi represif di mananya. Jangan manipulasi situasi dan membuat opini yang missleading lah," pungkas Ketua Komisi IV DPR ini.
Namun argumen yang menyatakan RUU ini sudah demokratis ini dibantah para peneliti politik LIPI. Menurut Syamsuddin Haris, dasar pemikiran atau paradigma yang melatarbelakangi penyusunan RUU Ormas ini sangat keliru.
"RUU ini melihat masyarakat sebagai sumber ancaman, sumber konflik sosial, dan disintegrasi bangsa. Padahal masyarakat adalah sumber legitimasi kehadiran negara. Dan negara lah yang seharusnya diawasi," ujarnya dalam jumpa pers di Gedung LIPI, Senin (1/7).
Begitu pun dengan urgensi RUU Ormas ini, Syamsuddin menilai RUU ini tidak relevan terhadap semua kekhawatiran seperti kekerasan dan anarki, pemberian atau penerimaan dana yang bersumber dari asing, dan terorisme.
"Semua itu sudah ada sanksi hukum dan solusi dalam berbagai perundangan yang sudah ada. Masalah penegakan hukum itu yang tidak jalan," jelasnya.
Menurut Syamsuddin, apabila DPR dan pemerintah tetap mengesahkan RUU inin dampak negatif yang kemungkinan terjadi yaitu semakin melembaganya suasana saling curiga antar berbagai kelompok dan golongan masyarakat. "Begitu pun dengan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara sangat tinggi karena naskah RUU bersifat multitafsir," pungkasnya.
Pada kesempatan itu Peneliti Senior Riezki Muna menyatakan, selama proses pembahasan, ormas yang menolak draft RUU ini selalu dipaksa Anggota Pansus RUU Ormas dan pemerintah hanya untuk merevisi atau menyetujui isi RUU tersebut. "Padahal sejak awal, kita sudah tegaskan jika kita menolak keberadaan UU Ormas, bukan merevisinya," tegasnya.
Menurut Riezki, apabila DPR dan pemerintah tetap mengesahkan RUU tersebut, sama artinya dengan mengabaikan dinamika yang ada di masyarakat. "Khusus bagi anggota DPR, kita tahu pada akhirnya bahwa mereka ternyata bukan wakil rakyat," ujar salah satu pengurus PP Muhammadiyah ini. (EC/ Metrotvnews.com)
Demikian diungkapkan sejumlah anggota fraksi partai politik yang ada di parlemen ketika dihubungi terpisah, Senin (1/7).
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR asal PDIP Arief Wibowo, partainya menyetujui RUU tersebut diberlakukan karena sangat demokratis, bahkan cenderung liberal. "Yang diminta dari RUU ini hanya masalah transparansi dari ormas. Wong parpol saja diminta transparan," katanya.
Arief menjelaskan, pihaknya menjamin RUU ini tidak akan mengekang kebebasan berserikat. Kalaupun ada larangan, ungkapnya, sifatnya hanya normatif dan berlaku kepada organisasi politik seperti parpol. "Begitu pun dengan sanksinya yang bersifat administratif ketimbang larangan terhadap pergerakan ormas," ujarnya.
Mengenai penolakan yang dilakukan ormas seperti Muhammadiyah dan ormas lainnya, Sekjen PPP M Romahurmuziy justru mengatakan, ada lebih banyak lagi ormas Islam ex statblaad yang mendorong RUU ini segera disahkan. "Lagipula, usulan PP Muhammadiyah yg sebanyak 5 pasal smua sdh diakomodir kok. Tapi lihat, yang selain Muhammadiyah kan berbau asing semua, berbau sokongan donor asing," ujarnya.
Ia menantang ormas yang tidak setuju pengesahan RUU Ormas untuk menyebut pasal mana yang hendak diubah dan apa usulannya. "RUU ini kan tidak membatasi, tapi mengakuntabilitaskan, jadi represif di mananya. Jangan manipulasi situasi dan membuat opini yang missleading lah," pungkas Ketua Komisi IV DPR ini.
Namun argumen yang menyatakan RUU ini sudah demokratis ini dibantah para peneliti politik LIPI. Menurut Syamsuddin Haris, dasar pemikiran atau paradigma yang melatarbelakangi penyusunan RUU Ormas ini sangat keliru.
"RUU ini melihat masyarakat sebagai sumber ancaman, sumber konflik sosial, dan disintegrasi bangsa. Padahal masyarakat adalah sumber legitimasi kehadiran negara. Dan negara lah yang seharusnya diawasi," ujarnya dalam jumpa pers di Gedung LIPI, Senin (1/7).
Begitu pun dengan urgensi RUU Ormas ini, Syamsuddin menilai RUU ini tidak relevan terhadap semua kekhawatiran seperti kekerasan dan anarki, pemberian atau penerimaan dana yang bersumber dari asing, dan terorisme.
"Semua itu sudah ada sanksi hukum dan solusi dalam berbagai perundangan yang sudah ada. Masalah penegakan hukum itu yang tidak jalan," jelasnya.
Menurut Syamsuddin, apabila DPR dan pemerintah tetap mengesahkan RUU inin dampak negatif yang kemungkinan terjadi yaitu semakin melembaganya suasana saling curiga antar berbagai kelompok dan golongan masyarakat. "Begitu pun dengan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara sangat tinggi karena naskah RUU bersifat multitafsir," pungkasnya.
Pada kesempatan itu Peneliti Senior Riezki Muna menyatakan, selama proses pembahasan, ormas yang menolak draft RUU ini selalu dipaksa Anggota Pansus RUU Ormas dan pemerintah hanya untuk merevisi atau menyetujui isi RUU tersebut. "Padahal sejak awal, kita sudah tegaskan jika kita menolak keberadaan UU Ormas, bukan merevisinya," tegasnya.
Menurut Riezki, apabila DPR dan pemerintah tetap mengesahkan RUU tersebut, sama artinya dengan mengabaikan dinamika yang ada di masyarakat. "Khusus bagi anggota DPR, kita tahu pada akhirnya bahwa mereka ternyata bukan wakil rakyat," ujar salah satu pengurus PP Muhammadiyah ini. (EC/ Metrotvnews.com)